Selasa, 24 November 2015

PRAKTIKUM IKAN



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan adalah anggota vertebrata poikilotermik (berdarah dingin) yang hidup di air dan bernapas dengan insang. Ikan merupakan kelompok vertebrata yang paling beraneka ragam dengan jumlah spesies lebih dari 27,000 di seluruh dunia. Secara taksonomi, ikan dibagi menjadi ikan tanpa rahang (kelas Agnatha, 75 spesies termasuk lamprey dan ikan hag), ikan bertulang rawan (kelas Chondrichthyes, 800 spesies termasuk hiu dan pari), dan sisanya tergolong ikan bertulang keras (kelas Osteichthyes).
Ikan air tawar tidak bisa dipisah dengan ekosistem hutan karena didalam hutan terdapat sungai yang membentang membelah hutan dan didalam sungai itu juga terdapat ika-ikan yang berhabitat didalam air. Ikan juga sangat penting dalam kehidupan manusia karena merupak sumber protein yang cukup tinggi.Apalagi ikan air tawar,Ikan air tawar mempunyai kandungan protein yang sangat tinggi dibanding ikan laut. Selain itu, ikan juga sebagai penyeimbang ekosistem didaerah sekitar hutan karena ikan memakan biji-bijian dan dedaunan yang jatuh kedalam sungai sehingga air sungai menjadi lebih bersih.
Ada ratusan jenis ikan yang ada didalam air tawar yang umunnya termasuk bertulang keras.ikan tersebut mempunyai spesies yang berbeda. Di Kaliamntan Barat mempunya keanekaragaman jenis ikan air tawar yang cukup tinggi,salah satunya adalah di Danau sentaru di Kabupaten Kapuas hulu.Salah satu jnis kan yang terkenal adalah ikan ulang uli dan ikan jelawat. Kita perlu mengidentfikasi ikan tersebut agar mudah digolongkan, melalui ciri-ciri morfologi Ikan Jelawat dan Ulang Uli sehingga spesiesnya bisa diketahui.
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk megetahui spesies ikan awetan melalui ciri morfologinya dan menambah wawasan dan pengetahuan pembaca terhadap ikan air tawar yaitu Ikan Jelawat dan Ikan Ulang Uli.
3.1 Ikan Jelawat (Leptobarbus hoevenii)
3.1.1  Klasifikasi Ikan Jelawat
Kingdom    : animalia
Filum          :  chordata
Subfilum     : Vertebrata
Kelas           :  Pisces
Ordo           : Ostariophysi
Sub ordo     : Cyprinoidae
Famili          : Cyprinidae
Sub Famili : Cyprinidae
 Genus          : Leptobarbus
Spesies        : Leptobarbus hoevenii.

3.1.2 Morfologi Ikan Jelawat
Ditjenkan (2004) menerangkan bahwa bentuk tubuhnya yang agak bulat dan memanjang, mencerminkan bahwa ikan ini termasuk perenang cepat. Kepala sebelah atas agak mendatar, mulut berukuran sedang, garis literal tidak terputus, bagian punggung berwarna perak kehijauan dan bagian perut putih keperakan, pada sirip dada dan perut terdapat warna merah, gurat sisi melengkung agak kebawah dan berakhir pada bagian ekor bawah yang berwarna kemerah-merahan, mempunyai 2 pasang sungut.
Ikan jelawat memiliki bentuk tubuh agak bulat dan memanjang, dan merupakan ciri bagi ikan yang termasuk perenang cepat. Kepala bagian sebelah atas agak mendatar, mulut berukuran sedang, garis literal tidak terputus, bagian punggung berwarna perak kehijauan dan bagian perut putih keperakan. Pada sirip dada dan perut terdapat warna merah, gurat sisi melengkung agak kebawah dan berakhir pada bagian ekor bawah yang berwarna kemerahmerahan, serta mempunyai 2 pasang sungut dengan sepasang sungut panjang dan sepasang sungut pendek.

3.1.3 Penyebaran dan Habitat Ikan Jelawat.
Ikan Jelawat merupakan jenis ikan air tawar yang banyak terdapat di perairan umum di Kalimantan dan Sumatera serta kawasan Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia, Vietnam, Thailand dan Kamboja. Ikan jelawat merupakan ikan-ikan asli yang telah dikenal di perairan pedalaman Indonesia. Ikan tersebut banyak ditemui di sungai, anak sungai, dan daerah genangan kawasan hulu hingga hilir, bahkan di muara-muara sungai yang berlubuk dan berhutan di pinggirnya. Pada daerah Kalimantan,khusunya didaerak sekitar sungai Kapuas dan danau sentarum,ikan ini msih banyak dijumpai dan merupak sumber protein utama bagi daerah danau sentarum
Ikan jelawat banyak ditemui di sungai dan daerah genangan kawasan tengah hingga hilir. Bahkan di bagian muara sungai. Habitat yang disukainya adalah anak-anak sungai yang berlubuk dan berhutan dibagian pinggirnya. Anak jelawat banyak di jumpai di daerah genangan dari Daerah Aliran Sungai (DAS). Disaat air menyusut, anakan dari ikan jelawat secara bergerombol beruaya ke arah bagian hulu sungai. Ikan jelawat dapat hidup pada pH 5-7, oksigen terlarut 5-7 ppm, dan suhu 25-37o C serta diperairan yang kurang subur hingga sedang (Departemen Pertanian, 1992).
Perairan tawar sebagai habitat ikan jelawat memerlukan kondisi fisika dan kimia air yang optimal. Ikan jelawat biasanya hidup di perairan yang bersuhu 25-37o C, oksigen terlarut 4-9 mg/l (Pantulu, 1976) dan pH air 6,3 – 7,5. Namun demikian, untuk hidup normal dan tumbuh baik, ikan ini memerlukan suhu 26 – 28,5o C dan oksigen terlarut 5 – 7 ppm, dan pH air 7,0 – 7,5. (Dari berbagai sumber oleh:Triyanto). 

3.1.4 Makanan Ikan Jelawat.        
Secara umum ikan jelawat bersifat omnivora atau pemakan segala. Namun sebenarnya ikan jelawat cenderung herbivora.Sachlan dan Wiraatmaja dalam Harjamulia (1992), menyebutkan di dalam usus ikan ditemukan biji-bijian, buah-buahan dan tumbuhan air. Sedangkan di dalam usus benih ikan jelawat ditemukan berbagai jenis plankton, algae dan larva serangga air.

3.1.5 Manfaat Ikan Jelawat.
Ikan jelawat mengandung protein yang terbilang tinggi dibandingkan dengan ikan laut.kandungan protein yang cukup tinggi cocok untuk anak yang sedang mengalami pertumbuhan(untuk makanan).Selain itu,ikan jelawat ini sebagai ikan yang memakan biji-bijian dan buah-buahan yang jatuh kedaam air sungai menjadi bersih.

3.1.6 Kelamin Ikan Jelawat
Beda jantan dan betina dapat dibedakan dengan melihat tanda-tanda pada tubuh. Tanda ini akan lebih nampak bila sudah matang gonad atau matang kelamin. Induk betina yang matang gonad bercirikan: perut agak gendut; belakang sirip dada halus; gerakan lamban dan anatara sirip dada kiri dan kanan lembek dan agak melengkung serta lubang kelamin kemerahan. Tanda induk jantan : gerakan lincah, lubang kelamin kemerahan, bila dipijit ke arah lubang kelamin, keluar cairan berwarna putih. Usahakan saat seleksi mengangkap induk jantan dan betina lebih dari satu, sebagai cadangan.

Senin, 09 November 2015

pemuliaan tusam



PEMULIAAN POHON PINUS MERKUSII
1.      Klasifikasi
Pinus merkusii merupakan satu-satunya jenis dari famili Pinaceae yang dapat tumbuh  secara  alami  di  Indonesia  pada  ketinggian antara 2002 000 m dpl, dengan kondisi optimal pada ketinggian antara 4001 500 m dpl (Khaerudin 1999). P. merkusii dapat tumbuh baik pada tanah yang kurang subur seperti padang alang-alang. Sifatnya yang cepat tumbuh membuat pinus ini tidak memerlukan tempat tumbuh   dengan   persyaratan   khusus.
Kingdom         : Plantae
Divisi               : Pinophyta
Class                : Pinopsida
Ordo                : Pinales
Famili              : Pinaceae
Genus              : Pinus
Spesies            : Pinus merkusii
2.      Reproduksi
Berdasarkan perbedaan dalam strukturnya, pakar botani mengklasifikasikan struktur reproduksi Pinus sebagai strobili dan bukan sebagai bunga. Tapi karena fungsinya sama yaitu untuk menghasilkan tanaman baru maka banyak pula pakar lainnya menggunakan istilah bunga ketika memaksudkan strobili.
Genus Pinus adalah jenis pohon berumah satu (monocious) yaitu produksi strobili jantan dan strobili betina terjadi pada satu pohon tetapi letaknya pada bagian pohon yang terpisah. Pada satu dahan dan ranting P. merkusii, strobili jantan terbentuk pada bagian yang lebih rendah daripada strobili betina, dan pada umumnya terdapat di bagian tengah dan bawah tajuk; sedangkan strobili betina terbentuk di bagian tajuk yang lebih atas. Pemisahan letak strobili seperti ini cukup efektif untuk mencegah terjadinya silang dalam (inbreeding) karena tidak mungkin serbuksari dapat muncul di bagian atas tajuk penyerbukan untuk mengadakan penyerbukan sendiri (selfing). Pada P. merkusii strobili betina terbentuk lebih dahulu daripada strobili jantan.
Pada P. merkusii terdapat adanya dikogami (dichogamy), yaitu produksi strobili jantan dan strobili betina pada waktu yang berbeda dari pohon yang sama, di mana strobili betina diproduksi lebih dahulu daripada strobili jantan. Ini juga berarti adanya gejala ketidaksesuaian diri secara genetik (genetic self incompatibility), yang merupakan mekanisme efektif untuk mencegah terjadinya selfing/inbreeding karena terjadinya protogini (protogyny) yaitu strobili betina telah reseptif (matang) sebelum strobili jantan siap menumpahkan serbuk sarinya.
P. merkusii adalah jenis pohon yang menyerbuk silang (outcrossing), sehingga kemungkinan terjadinya penyerbukan sendiri (selfing) adalah minimum. Ini berati pohon-pohon P. merkusii bukan merupakan inbreed karena genotipanya heterozigot, dan tentunya berasal dari induk-induk yang tidak berkerabat dalam populasinya.
3.      Sifat-sifat Pinus merkusii
Pinus merkusii strain Kerinci ini mempunyai bentuk batang lurus, percabangan.
  • berbatang lurus,
  • percabangan sangat tinggi, ramping dengan sudut 30-45º,
  • daun jarum sebanyak dua buah (hampir sama dengan jenis Pinus sylvestris),
  • daun licin dengan bagian dalamnya agak cekung dan kasar.
  • Kulit batang tipis, 0,8 cm, tidak beralur, dan kulit luarnya mengelupas.
Perbedaan sifat-sifat morfologi antara strain Kerinci dibandingkan dengan strain Aceh adalah:
  • bentuk batang umumnya lebih lurus dan lebih silindris,
  • kulit batang umumnya lebih tipis (1 cm) dengan warna lebih terang (putih keabu-abuan) dan alur yang lebih dangkal,
  • daunnya relatif lebih jarang, dan
  • diduga kerentanan terhadap kebakaran lebih rentan karena kulitnya yang lebih tipis.
4.      Manfaat Pinus merkusii
Hampir semua bagian tumbuhan ini bisa dimanfaatkan, yang paling umum adalah dengan menyadap batangnya. Getah Tusam diambil getahnya kemudian diolah menjadi terpentin maupun gondorukem. Terpentin sebagaimana anda ketahui merupakan bahan industri parfum, obat-obatan, dan disinfektan. Sedangkan gondorukem merupakan bahan untuk membuat sabun, resin dan cat.
Masih adalagi sugi, yaitu lubang yang dibuat di pohon pinus setelah pohon pinus itu dikupas kulitnya sekitar empat hingga enam bulan dan warna kayu tempat dilukai menjadi coklat kemerah-merahan. Api yang dinyalakan pada sugi tahan lama dan biasa digunakan penduduk sebagai alat penerangan sewaktu ke pasar, ke ladang, atau ke sungai pada malam hari. Di samping itu, juga untuk menyalakan api di dapur saat memasak. Akibat pembuatan sugi ini, pada batang pohon pinus terdapat lubang yang dalam sehingga mudah tumbang ditiup angin. Kelemahan yang paling mengganggu dari Pinus merkusii adalah rentannya ia terhadap kebakaran, tidak aneh karena seresahnya tergolong banyak dan sulit sekali membusuk secara alami (8-9 tahun).
5.      Persebaran
Pinus merkusii merupakan satu-satunya jenis konifer di daerah tropika yang daerah persebarannya luas di Asia Tenggara, dari 95º30' - 121º30' BT dan 22º LU - 2º LS. Pinus merkusii tersebar di Asia Tenggara antara lain Burma, Thailand, Vietnam, Laos, Kambija, dan Filipina (Harahap dan Izudin, 2002). Pinus merkusii atau tusam adalah salatu-satunya jens pinus asli Indonesia. Didaerah Sumatra tegakan pinus alam ada tiga strain yaitu strain Kerinci, strain Tapanuli dan strain Aceh.
Populasi alam strain Kerinci sudah sangat kecil dan terbagi-bagi dalam areal yang sempit sehingga angka koefisien inbreeding menjadi tinggi yang menghasilkan keragaman genetik yang sangat rendah, dan menyebabkan terjadinya erosi genetik yang tinggi pada populasi alam ini. Populasi alam strain Kerinci sudah dalam keadaan yang berbahaya dan mengalami ancaman kepunahan yang serius, sebab populasinya telah terpecah-pecah dalam areal yang sempit (kurang dari satu hektar) dengan jumlah pohon yang hanya sedikit. Tindakan konservasi in-situ dan ex-situ merupakan kegiatan yang sudah mendesak untuk dilaksanakan, dan merupakan langkah yang efektif untuk mendukung program pemuliaan pohon di masa mendatang.
6.      Tujuan Pemuliaan Pohon
Tujuan umum suatu program pemuliaan adalah untuk memuliakan secara progresif populasi dasar dan populasi pemuliaan memperbanyak material yang telah dimuliakan untuk mengembangkan perbanyakan populasi superior, menjaga variabilitas dan ukuran populasi dasar dan populasi serta mencapainya secara ekonomis (Hardiyanto, 2000). Strategi pemuliaan pohon berkiar dari yang sederhana sampai yang kompleks dan terpadu.
P. merkusii diintruoduksi pertama kali di Jawa pada tahun 1920-an dari populasi yang tdak diketahui, kemungkinan besar di Blangkejeren. Jumlah induk pada awal introduksi ini juga tidak diketahui. Mengingat kisaran P. merkusi di Sumatra cukup lebar, boleh diduga bahwa tegakan P. merkusii dijawa memiliki genetik yang sempit. Hasil isozim menununjukkan bahwa populasi hutan tanaman di Jawa memiliki heterosigitas yang sedikit lebih rendah disbanding dengan populasi alami. Pengalaman dengan spesies lain menunjukkan bahwa ras lahan local sring kali lebih inferior disbanding dengan materi introduksi baru dari populasi alami (Danarto et al., 2000).
Berdasarkan pengalaman P. merkusii tidak hanya memfokuskan seleksi tegakan tanaman di Jawa. Eksplorasi benih untuk meningkatkan basis genetik P.merkusii di Jawa telah dilakukan pada tahun 1995 terhadap populasi Janto, Takengon, dan Blangkejeren dan uji keturunan dipaparkan pada tahun 1998 di Jember. Pada Tahun 1998 eksplorasi benih kembalai dilakukan di Kerinci dan Tapanuli. Hasil penyemaian dari kedua populasi ini tidak memberikan hasil yang diharapkan. Banyak benih yang tidak mampu berkecambah atau kecambah secara perlahan  mengalami kematian. Salah satu alasannya diduga karena level kawin kerabat pada populasi ini tinggi (Danarto et al., 2000).

7.      Uji Provenansi
Untuk mengetahui populasi genetik darimana populasi benih berasal dapat dilakukan dengan membandingkan penampilan keturunannya dari asal benih yang berbeda yang ditanam pada lingkungan yang sama. Cara ini lebih dikenal dengan nama uji provenansi atau uji sumber asal benih alami. Uji ininpada dasarnya untuk mereduksi jumah provenansi atau ras lahan menjadi sejumlah proveansi atau ras lahan yang telah teruji sesuai dengan produk yang diinginkan pada tempat tertentu (Leksono,1998).
Danarto et al. (2000) menyebutkan bahwa eksplorasi benih untuk meningkatkan basis genetik P. merkusii di Jawa telah dilakukan pada tahun 1995 terhadap populasi Janto, Takengon, dan Blangkejeren. Ketiga daerah ini terletak di Aceh dan material hasil eksplorasi ini telah ditanam di Jember dan Sumedang.
Informasi tentang keragaman genetik di dalam dan antar populasi merupakan informasi dasar bagi aktivitas pemuliaan pohon di masa datang dan upaya melakukan konservasi genetik serta penelusuran asal usul bahan tanaman. Keragaman genetik menempati posisi kunci dalam program pemuliaan karena optimalisasi perolehan genetik akan sifat-sifat tertentu akan dapat dicapai manakala ada cukup peluang untuk melakukan seleksi gen untuk sifat yang diinginkan. Salah satu aktivitas pemuliaan yang dapat dilakukan untuk mengembangkan potensi genetik pinus Tapanuli ialah membangun kebun benih. Kebun benih merupakan pertanaman dari klon-klon/keturunan dari famili terpilih, diisolasi untuk menghindari atau mengurangi penyerbukan dari luar dan dikelola secara intensif untuk menghasilkan benih bermutu tinggi, terus menerus dan mudah dipanen.
Pengembangan pinus  strain Tapanuli melalui pembangunan kebun benih dari berbagai sumber benih unggul merupakan langkah yang tepat untuk melestarikannya. Selain jumlahnya yang semakin berkurang di sebaran alaminya juga kegiatan pengembangan strain ini masih sangat kurang. Harahap (2000) juga menjelaskan bahwa pengembangan pinus strain Tapanuli tidak dilanjutkan kembali di  Aek Nauli, Kabupaten Tapanuli Selatan akibat terkena serangan Milionia basalis.
Suhaendi (1988) memaparkan bahwa P. merkusii strain Tapanuli memiliki morfologi dan  beberapa  sifat  pohon  yang  lebih  baik dibandingkan  strain  Aceh  yang  selama  ini  telah banyak  dikembangkan  dan  dibudidayakan  di  pulau Jawa, yaitu bentuk batang ramping dan lurus, kulit batang tipis dan beralur dangkal, cabang-cabang lebih kecil, serta produksi getah lebih banyak. Selain itu, pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa populasi alami strain Tapanuli yang diteliti memiliki nilai keragaman genetik (He) yang cukup tinggi dan tidak terlalu berbeda jauh dibandingkan dengan strain Aceh pada penelitian Nurtjahjaningsih et al. (2007; 2009). Berdasarkan beberapa keunggulan di atas maka mengembangkan strain Tapanuli di pulau Jawa dapat dijadikan alternatif dan kemungkinan dapat mengurangi kerugian akibat hama karena adanya strain lain berasal dari Tapanuli. Namun alternatif ini perlu dikaji lebih mendalam melalui beberapa penelitian sehingga dapat dibuktikan pengaruhnya terhadap tingkat keberhasilan pengembangan yang dilakukan.
Pinus strain Tapanuli yang lestari berarti melestarikan sumberdaya genetiknya. Upaya pelestarian sumberdaya genetik sangat terkait dengan kegiatan  konservasi  untuk  mempertahankan keragaman atau variasi genetik suatu populasi. Keberagaman variasi genetik akan menjamin ketersediaan sumberdaya genetik apabila diperlukan. Tingkat keragaman genetik yang tinggi merupakan modal dasar dalam konservasi plasma nutfah sebab konservasi menjadi hal yang penting diperhatikan dalam rangka menjaga agar tidak terjadi penurunan basis   genetik   populasi   dasar   P.   merkusii   strain Tapanuli di masa depan.
8.      Kesimpulan
Informasi tentang potensi genetik dari berbagai provenansi P. merkusii terhadap pengembangan P. merkusii masih sangat terbatas. Informasi tentang genetik P.merkusii yang ditanam pada lingkungan yang berbeda akan memiliki perbedaan secara langsung maupun tidak langsung. Uji provenansi P.merkusii diperlukan untuk mengetahui provenansi P.merkusii yang lebih produktif dari berbagai provenansi yang ada dan memperluas basis genetik populasi P.merkusii.
Sumber bacaan:
Siregar, I. B. R., 2005. Pemuliaan Pinus merkusii. Universitas Sumatra Utara.
Siregar, U. J., Diputra, I. M. M. M., 2013. Keragaman Genetik Pinus merkusii Jung et de Vriese Strain Tapanuli Berdasarkan Penanda Mikrosatelit.